No One’s Coming, It’s Up To You: Babak Kedua

Panji Febrianto
2 min readFeb 16, 2024

--

Personal Collection

Tulisan ini merupakan lanjutan sekaligus menjadi jawaban dari tulisan sebelumnya dengan judul sama. Tujuannya adalah menyangsikan kalimat penutupnya, bahwa: “Pada akhirnya, yang penting bukanlah bagaimana kita menghindari kesepian, tapi bagaimana kita menerimanya”. Sebenar-benarnya kalimat di atas, tidak menolak kenyataan bahwa cara berpikir demikian berangkat dari sifat nrimo yang dimiliki manusia. Lebih lanjutnya adalah sifat pasrah — menerima segala keadaan yang dialami.

Ironi ketika manusia sebagai spesies yang “beruntung” dalam proses evolusinya menjadi puncak dari rantai makanan — dengan segala akal dan kelebihannya — masih saja terjebak dalam ketidakberdayaan.

Atau mungkin, apa-apa yang telah dianggap sebagai upaya menerima kesepian tadi adalah sebenarnya masih merupakan tindakan menghindari. Naifnya diri mengaburkan batas-batas pengertian dari keduanya. Perilaku-perilaku yang dikiranya dilihat sebagai perbuatan menerima tadi justru merupakan coping mechanism dari kesepian yang dialami.

Memang dalam prosesnya, bukanlah hal mudah menerima hal-hal yang sebelumnya menjadi beban dalam hidup yang dijalani. Selalu ada yang perlu dikorbankan — termasuk kewarasan. Ditambah lagi ketika kita dalam kondisi yang terpuruk justru menerima kalimat-kalimat yang malah menambah beban pikiran baru. Mati seringkali terbersit sebagai jalan keluar instan dari permasalahan yang ada. Adakalanya ketika sedang berkendara seorang diri memacu kecepatan muncul harapan di depan ada objek keras untuk menabrakkan diri — menghasilkan kematian yang cepat dan tanpa rasa sakit.

Mati tentu bukanlah solusi yang menjawab permasalahan, justru melimpahkan permasalahan tadi kepada orang-orang lain di sekitar. Kalau ingin egois, sebenarnya tak masalah melimpahkan beban tadi ke orang lain — yang biasanya justru malah mereka yang pada awalnya memberikan kalimat-kalimat membebankan tadi. Tapi bukan berarti, diri harus menjadi jahat, bukan?

Ternyata memang, kita tidak bisa membebankan permasalahan diri kepada orang lain. Sebab sebagaimana disinggung dalam tulisan pertama ini, setiap diri telah memiliki cangkang hidupnya masing-masing. Kebahagiaan diri bukanlah — dan tidak akan pernah — menjadi tanggung jawab dari orang lain. Kiranya memang benar, “At the end of the day, it’s not really about how we avoid loneliness, but it’s how we embrace it”. Dan pada akhirnya, semua akan kembali kepada diri sendiri, cause no one is coming, it is up to you.

--

--