SULITNYA URUS PANDEMI DI INDONESIA WALAU DENGAN 1001 CARA

Panji Febrianto
3 min readOct 2, 2020

--

Kalau bukan karena iseng mengantar teman kembali ke baraknya, tentu saya ‘tak akan bertemu dan mengobrol dengan Pak Hasan, salah seorang pedagang kopi keliling di depan stasiun Juanda. Ngobrol ngalor-ngidul dari asal daerah kita masing-masing sampai isu pandemi yang masih marak dan awet selama 7–8 bulan belakangan. Dari sudut pandang ia tentunya. Sebagai seorang madura dari wilayah yang kental dengan nuansa NU-nya — sebagaimana yang ia klaim— ia menceritakan bagaimana seorang kyai di daerahnya mengatakan bahwa pandemi ini merupakan hal yang sudah tertera dalam kitab suci Al-Quran sebagai Tha’un atau wabah. Kyai tersebut menganjurkan untuk mengusir wabah dengan bersholawat dan mendoakan agar wabah ini segera berlalu. “Orang sekarang mah takut sama kopit (covid), kita mah disana didoain. Ini adalah azab dari Allah (SWT)”simpul Pak Hasan. Sehingga menurutnya pemerintah seharusnya tak hanya memikirkan orang sakit, tetapi yang sehat juga perlu diperhatikan. “Orang yang sudah mati kan sudah memang waktunya, gak usah takut kita doakan saja(agar segera berlalu)” ia menambahkan. Saya tidak dapat mengucapkan sepatah kata apapun saat itu, hanya mengangguk menghilangkan kecanggungan di dalam obrolan. Meski perkataannya terdengar tak menghormati para korban pandemi, tetapi ucapannya tidak dapat sepenuhnya bisa disalahkan. Orang-orang yang masih selamat dan sehat tentu harus tetap bertahan hidup. Sedangkan penghasilan yang diperoleh berkurang sangat drastis dibanding sebelum-sebelumnya. Dilain sisi kebijakan untuk menangani pandemi memaksa orang-orang tidak dapat lagi beraktivitas seperti biasanya.

Dua poin yang saya dapat, pertama, pemahaman masyarakat kalangan bawah yang masih minim terhadap bahaya pandemi dihadapkan dengan kenyataan bahwa mereka harus bertahan hidup dengan terpaksa bekerja di masa pandemi. Keterpaksaan untuk bekerja di masa pandemi yang tidak diiringi dengan cukupnya pemahaman atas apa yang sebenarnya terjadi tentu amat membahayakan diri mereka sendiri dan orang lain bahkan juga menghambat berjalannya kebijakan penanganan pandemi dengan baik dan efektif. Bukan berarti mendasarkan pemikiran dan insting bertahan hidup kepada nilai agama menjadi hal yang salah, tetapi pemahaman yang keliru pada nilai-nilai agama yang dianut tentu dapat memperburuk keadaan. Mungkin kita pernah mendengar kisah bagaimana Umar bin Khattab, khalifah yang amat disegani dan diakui ketaatannya kepada Allah SWT menghindari suatu takdir dari-Nya menuju takdir yang lain dengan tidak memasuki wilayah yang terkena wabah.

Kedua, setelah berbulan-bulan pandemi terjadi dan ternyata masih adanya pola pikir masyarakat yang demikian menunjukkan masih kurangnya komunikasi pemegang otoritas kepada publik dalam sosialisasi mengenai pandemi secara utuh. Bagaimana bisa mengharapkan adanya kesadaran penuh dari masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat apabila mereka sendiri belum memahami dengan baik apa yang terjadi, para penegak aturan yang ikut melanggar protokol kesehatan secara terang-terangan, ditambah lagi dengan maraknya beredar isu-isu komersialisasi di bidang kesehatan selama pandemi — meskipun kita mengetahui hal ini sudah terjadi sejak jauh sebelumnya. Ini berarti, apapun kebijakan yang diambil pemerintah tak akan pernah berjalan dengan baik dan efektif selama dijalankan hanya sebatas normatif tanpa pelaksanaan yang serius dan tanpa dukungan pemahaman yang baik dari masyarakat. Masyarakat kecil seperti halnya Pak Hasan yang berharap agar mendapat perhatian lebih dari pemerintah terhadap keberlangsungan hidup nya— bahkan sampai membandingkannya dengan pasien dan korban pandemi —tentu tak bermaksud menyinggung para korban covid-19. Ia hanya mencoba bertahan hidup ditengah kondisi sulit dengan bersandar pada nilai-nilai yang selama ini ia yakini. Selain itu juga hal ini memperlihatkan masih butuhnya ia dan banyak masyarakat lain yang terdampak terhadap uluran tangan pemerintah di masa-masa sulit, walau harapannya agar tempat-tempat umum dibuka segera supaya jumlah konsumennya kembali seperti sedia kala masih belum dapat dilakukan.

--

--